Sunday, March 8, 2009

Jazz dan Kehidupan


“Bro, nonton Java Jazz nggak?”, demikian tanya seorang teman kepadaku di hari Minggu kemarin. Tidak cukup bertanya demikian dia juga menyodorkan koran yang memuat berita pergelaran Java Jazz 2009 yang dihadiri ribuan penonton dan di sisi lain pada koran yang sama, sebuah berita tentang ribuan tenaga kerja Indonesia yang membutuhkan pekerjaan.
“Ironis ya Bro. Biaya pergelaran dan tiketnya cukup mahal. Banyak uang seakan dihamburkan, tetapi sebaliknya ribuan orang butuh uang”.

Kami berdua menyukai musik Jazz meskipun hanya sebagai penikmat. Saya ingat, kira-kira 10 tahun yang lalu musisi jazz Luluk Purwanto bersama Rene van Helsdingen mengadakan tur di beberapa daerah menggunakan Stage Bus. Di Yogyakarta mereka menempati pelataran utara Kraton berdekatan dengan bangsal Pagelaran. Suatu peristiwa yang amat langka terjadi menurut penyair Rendra yang malam itu turut menyumbangkan puisinya. Tetapi yang menarik bagi saya adalah, selain bebas biaya tentunya, pergelaran tersebut dihadiri tidak hanya oleh pecinta jazz tetapi juga orang-orang kampung sekitar yang kemungkinan besar tidak tahun-menahu soal jazz. Beberapa di antaranya adalah beberapa perempuan tua. Profil mereka mirip “mbok bakul” dari desa yang sangat bersahaja : menggunakan kebaya dan kain jarik lusuh yang lazim dipakai para penjual jamu gendong. Mungkin juga mereka adalah penjual makanan seperti jagung bakar, wedang ronde dan lain sebagainya, yang menjajakan dagangannya di malam hari. Malam itu mereka, saya, dan semua audiens duduk di tanah atau berjongkok. Ada yang duduk di pelataran, di teras, atau di bawah pohon beringin tua. Tentu saja kehadiran “mbok-mbok bakul” tersebut menarik hatiku yang bertanya-tanya apakah mereka mengerti tentang jazz?

Permainan Luluk dan Rene indah sekali malam itu. Mereka memainkan beberapa tembang yang salahsatunya sangat saya suka, yaitu tembang tradisional Jawa Ilir-ilir. Tidak berkesan sebagai komposisi musik yang umum karena mereka tidak memainkannya secara utuh melainkan mengambil beberapa penggalan nada yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa dan diolah sedemikian rupa sehingga muncul sebagai sebuah komposisi baru. Sebagai unsur penegasan Jawa, kuingat, Luluk memainkan beberapa alat musik tradisional (yang barangkali bisa disebut juga mainan anak-anak) yang banyak ditemukan di pasar. Dan beberapa kali selama pentas berjalan Rene mengucapkan kata sampun (sudah selesai) atau matur nuwun (terimakasih). Sebuah dialog kecil nan indah. “Mbok-mbok bakul” kulihat tertawa sembari bertepuk tangan. Mereka merasa disapa. Saya rasa mereka tidak memahami jazz sebagai musik melainkan sebagai sapaan. Begitu pula Luluk dan Rene, saya pikir mereka mampu menghadirkan jazz bukan sebagai musik saja melainkan sebagai dialog.

Kembali ke peristiwa hari Minggu kemarin. Karibku itu mengatakan bahwa asyik juga seandainya kami bisa nonton Java Jazz. “Sebetulnya aku juga ingin. Tetapi uangnya setimpal dengan biaya seragam anakku”, katanya sembari duduk di jembatan kayu yang menghubungkan ruang keluarga dengan dapur. Kakinya diayun-ayunkan, memainkan air kolam. Kupikir tidak salah juga pagelaran Java Jazz diadakan, terlebih bila bisa menaikkan harkat bangsa kita di mata dunia. Tetapi seperti yang kami diskusikan di hari Minggu itu, banyak unsur di dunia termasuk musik jazz ialah tidak lebih dari sekedar sarana dalam hidup yang bisa dipakai untuk mengabdi Gusti Allah, yang menurut pikiran bodohku diwujudkan dalam pengabdian kepada sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Selanjutnya tergantung manusia dalam memanfaatkan semua sarana tersebut. Boleh dipakai untuk kepentingan diri sendiri sesaat atau akan lebih baik jika digunakan untuk kepentingan bersama.

“Kalau begitu dana untuk mengadakan pagelaran lebih baik digunakan untuk membantu orang lain ya Bro?”.
“Wah, nanti apresiasi Jazz di Indonesia bisa berhenti dong”, jawabku
“Atau bisa juga fifty-fifty ya. Hasilnya untuk membantu orang lain yang butuh”, balasnya. “Atau semangat musik jazz dimaknai lain, yaitu dijadikan sarana untuk saling membantu seperti cerita tentang “dialog antara Luluk-Rene dengan mbok-mbok bakul” yang kamu tuturkan tadi? Melalui musik mereka menciptakan sesuatu yang lebih dari musik itu sendiri”.
Entahlah. Pikiranku yang bodoh ini tidak mampu berpikir seperti itu. Hanya mengantuk yang kurasakan saat ini. Apalagi tembang kroncong yang dilantunkan Waljinah yang terdengar sayup-sayup dari sebuah compo serasa memberi ketenteraman batin. Ah!

No comments: