Wednesday, June 1, 2011

Kebebasan Krisharjanto

Ambrosius hari ini banyak merenung di dalam kelas. Matanya fokus pada kertas, jemarinya sibuk membuat sketsa, dan pikirannya pergi ke ‘suatu tempat’ entah dimana. Namun demikian sebagian kesadarannya terantuk pada sesuatu yang menarik hatinya, yaitu kalimat yang diucapkan temannya, Nino, yang sedang bercerita di depan kelas tentang Friedrich Wilhelm Nietzsche.

“Maka, Thus Spoke Zarathustra bercerita tentang Overman. Sang manusia super yang melampaui manusia. Manusia ideal yang menurut Nietzsche harus ada sebagai konsekuensi dari kematian Tuhan. Tuhan sudah mati! Kematian Tuhan harus terjadi jika manusia ingin menjadi mahluk yang utuh dan mulia; sang Overman, sang Superman. Ujung dari semua itu adalah freedom! Kebebasan!”, demikian Nino berapi-api.

Kebebasan, kebebasan, dan kebebasan ... kata-kata ini muncul berulang dalam di pikiran Ambrosius. Jika ada kebebasan lantas kenapa ada orang yang ‘tidak bebas’? Anak-anak pandai yang tidak bisa mengenyam pendidikan? Anak-anak yang terluka hati karena perceraian orang tua? Orang-orang yang disingkirkan? Memang bebaslah seorang anak untuk memperoleh pendidikan. Tapi toh kenyataannya banyak yang tersandung oleh beragam aturan. Aturan yang dibuat manusia untuk mengatur kebebasan demi menghormati kebebasan. Di kelas ini pun tidak semua muridnya pandai. Tetapi mereka seharusnya patut bersyukur bisa memperoleh kesempatan belajar lebih tinggi. Seharusnya .. ya seharusnya, mengingat di luar sana banyak anak-anak pandai terlantar begitu saja. Tetapi ‘seharusnya’ selalu berselisih pendapat dengan ‘kenyataannya’. Demikianlah hidup.

Memikirkan kebebasan dan anak-anak pandai yang tidak sempat mengenyam pendidikan, pikiran Ambrosius mundur ke beberapa tahun silam, saat dirinya masih duduk di bangku kuliah.

Saat itu siang hari menjelang sore, di sebuah bangunan sekolah tua sederhana yang sepi dia bertemu seorang teman lama; Krisharjanto. Kris, begitu teman itu biasa dipanggil, adalah teman sebangku Ambrosius waktu masih SMP. Dia adalah salah satu anak terpandai yang pernah dimiliki sekolah tempat mereka belajar dulu. Anak buruh tani dia. Ayahnya sehari-hari menggarap beberapa petak sawah yang terletak di samping sekolah mereka.

Layaknya anak petani, figur Kris sangat sederhana. Posturnya tinggi, kurus, dan berkulit gelap. Bicaranya lantang dan keras seakan-akan ruang kelas adalah area persawahan. Kris selalu memakai seragam dari bahan sederhana. Sepatu bermerk ‘Warrior’ yang dipakainya tampak kusam, berpadu dengan kaos kaki tipis yang seakan tidak lekat pada kaki sehingga harus dikencangkan dengan karet gelang.

Tetapi Kris sangat pandai meskipun duduk di bangku paling belakang. Memang, deretan bangku paling belakang selalu diidentikkan dengan wilayah anak-anak bodoh dan bebal, sehingga guru kami menyebutnya: ‘anak-anak terbelakang’. Maksudnya adalah anak-anak bodoh bebal yang duduk di bangku paling belakang. Tetapi nilai itu tidak berlaku bagi Kris; sang ahli matematika, bahasa, dan sejarah.

Sore itu mereka berdua berbincang setelah hampir 10 tahun tidak berjumpa. Mereka bertukar pengalaman, bercerita perjalanan dan pergumulan hidup hampir 10 tahun terakhir. Ambrosius bangga bisa bercerita tentang pendidikan arsitektur yang hampir selesai dijalaninya. Tentang ilmu-ilmu yang diperolehnya. Begitu pula dengan pengalaman-pengalaman yang menggairahkan jiwa idealisme seorang anak muda. Semula dia juga berharap cerita yang sama menggairahkannya keluar dari mulut Kris; cerita tentang kehebatannya di seputar dunia akademik. Tentu pantaslah seorang Krisharjanto yang pandai hidup secara gemilang di dunia akademik.

Tetapi, cerita itu tidak keluar dari mulut Kris. Hanya ada senyum di wajahnya yang anak petani. Wajah yang makin keras dan kasar rautnya. Wajah yang hadir bersama rambutnya yang merah dan tak teratur. Bersama pula kaos oblong putih serba bolong, dan celana pendek lusuh yang menunjukkan betisnya yang jejeg sewarna gula-geseng. Dia hanya bercerita selepas SMP tidak ada lagi kesempatan melanjutkan studi. Ayahnya yang sekedar buruh tani tak sanggup membiayai. Adik-adiknya 3 orang. Maka kemudian kertas ijazahnya hanya menjadi pajangan; kertas yang menyatakan bahwa Kris adalah lulusan terbaik.

Tetapi Kris sempat berkata juga, tentang suatu hal yang tidak akan pernah dilupakan Ambrosius, yaitu kebebasan. Ya, kebebasan, atau tepatnya menyikapi keadaan yang diterimanya dengan sikap bebas dan lepas. Awalnya terdengar aneh bagi Ambrosius. Bagaimana mungkin menerima keadaan yang mengekang kesempatan untuk maju adalah suatu kebebasan? Tidakkah itu sekedar sikap menghibur diri belaka? Tetapi Kris memang anak petani tulen. Anak alam dia. Dia belajar bahwa alam selalu bergerak memberi kebaikan. Maka, pelajaran dari alam memberinya kesadaran bahwa memang betul setiap manusia memiliki kebebasan. Tetapi kebebasan haruslah mengarah kepada kebaikan. Karena kebebasan dan kebaikan sudah menjadi kodrat dalam diri manusia, seperti 2 sisi pada satu keping mata uang. Seperti alu yang bisa dipakai untuk menumbuk gabah sekaligus untuk memukul-membunuh. Nah, petani yang waras tentu akan memilih mempertemukan alu dengan lumpang pasangannya. Untuk menumbuk gabah. Kesadaran mempertemukan alu dengan lumpang inilah yang menjadikan dunia baik dan pada tempat semestinya. Mendaratkan kebebasan agar tidak berada di awang-awang.

Masih segar dalam pikiran Ambrosius tentang perjumpaan terakhir dengan Kris. Mereka pergi bersama dari sekolah tua di tepi sawah menuju jalan besar. Ambrosius mengendarai sepeda motor keluaran terbaru. Disampingnya Krisharjanto mengendarai sepeda bermerk Raleigh yang sudah kusam. Pada jok belakang ditumpuknya tumpukan gabah yang diikat dengan tali. Mereka tidak lagi membincangkan keramaian dunia akademik, tetapi tentang angin sore yang hangat semilir, harum tanah yang disiram air hujan, air teh tubruk dengan gula batu di warung pak Pujo.

1 comment:

mkbmssps.blogspot.com said...

iya.... kadang-kadang kebebasan menjadi benteng yang menghalangi untuk sekolah. tapi KEBEBASAN berekspresi dengan MENGHIDUPI setiap pengalaman dengan SERSAN (SERius tapi SANtai) menjadikan hidup ini lebih bermakna meski bangku kuliah dan impian lain tak tercicipi.