Friday, October 22, 2010

Wira

Malam itu udara terasa gerah di Bali. Aku tidur dalam sebuah bilik kecil bersama seorang teman, Pak Artam namanya. Ya, kami lelah sekali malam itu setelah seharian penuh bergelut dengan proyek-proyek yang masih sangat membutuhkan perhatian. Tentu, sesuatu yang sejuk kami harapkan untuk memberi ketenangan. Cukuplah suhu udara yang nyaman sebetulnya. Tidak lebih. Sebagai orang-orang lapangan kami terbiasa tidur dalam kondisi seadanya. Tetapi udara di Sanglah malam itu tidak sedikitpun memberi perhatian kepada kami. Tiba-tiba, di sela gelisah, telfon selulerku berdering; panggilan dari Jakarta, dari seorang sahabat : Berna. Kulirik arloji. Pukul satu dini hari.

‘’Mas, sudah tidur?’’

‘’Yup. Kenapa, Nduk?’’, jawabku dengan suara yang kubuat semerdu mungkin. Pikirku; apa dia tidak sadar sudah pukul berapa sekarang?

‘’Ngga. Cuma mau minta bantuan. Kenal orang-orang yang sedia jadi donor darah?’’

‘’Malam ini?’’

‘’Ya. Buat seorang bayi. Anaknya temenku. Sudah kritis’’.

Selebihnya dia bercerita panjang lebar tentang kondisi anak tersebut, yang ternyata belum sempat diberi nama. Aku yang hampir memejamkan mata hampir tidak mendengar semua yang dikatakannya. Akhirnya dia menyudahi pembicaraan dan mengatakan akan menunggu kabar dariku.Duh,Gusti Allah, aku capek sekali. Besok saja cari bantuan, pikirku. Lagi pula malam seperti ini? Bukankah hampir semua orang terlelap? Tapi tak urung hatiku gelisah. Berkali-kali bantal kubalik, sampai tiba-tiba seperti ada sebentuk pikiran merasuki otakku dan mengatakan alangkah lebih baik diselesaikan sekarang sehingga besok tidak terlalu menjadi beban pikiran. Maka jadilah. Beberapa nama kuhubungi dan ... sangat mengejutkan ... dalam waktu tak kurang dari tigapuluh menit tiga orang sudah menyatakan kesediaannya. Yang lain memberi nomor lembaga-lembaga yang layak dimintakan tolong. Dengan semangat aku mengabari Berna. Kuminta agar dia menghubungi lembaga dan para pendonor yang sudah bersedia. Selanjutnya, tak lebih dari dua puluh menit dia menghubungiku lagi. Dengan nada suara gembira dia mengatakan bahwa para pendonor siap dan untuk sementara semua cukup. Dia juga berkali-kali mengucapkan terimakasih.

‘’Mas, tahu’kan. Ibu anak itu sahabatku. Terimakasih!’’.

‘’Ya, ya’’, kataku. Di otakku saat itu cuma ada satu kata : tidur.

Legian Bali, hari keempat setelah Berna menghubungiku. Aku tiba-tiba ingin tahu perkembangan anak itu. Kutanyakan kepada Berna. Dia mengatakan bahwa anak itu sudah pergi untuk selamanya. Sing Murbeng Dumadi, Allah maha pengasih punya cara yang lebih baik untuk menyatakan cintaNya.

‘’Sempat transfusi darah?’’, tanyaku.

‘’Sempat, Mas. Tapi lumayan terlambat. Duh, maaf aku ngga sempat kasih kabar’’. Dan selanjutnya kudengar dia menangis. Juga minta doa.

Meskipun hatiku haru, tapi entah kenapa aku selalu memandang bahwa kematian adalah kehidupan itu sendiri. Menangis dalam kesedihan adalah sebentuk ungkapan cinta, tetapi lambat laun cinta itu juga yang akan menjadikannya sebuah senyum. Bukan, bukan kematian itu yang terus menjadi pikiranku, melainkan aku teringat akan seseorang, Wira namanya.

Di malam yang panas itu, sesaat setelah Berna meminta informasi tentang para pendonor, aku menghubungi Wira. Wira adalaha sahabatku di Jogja. Dia memberi cukup banyak informasi tentang pendonor golongan darah AB seperti yang diminta. Informasinya sangat berguna dan membantu. Tapi setelah beroleh kabar tentang kepergian anak itu, dia mengaku bahwa sebetulnya dirinya juga bergolongan darah AB. Menjadi sebuah penyesalan baginya karena sebetulnya mampu untuk menyumbang darah dalam waktu cepat. Baik si Anak maupun Wira ada dalam satu kota yang sama. Apalah arti waktu bagi orang Jogja terlebih di malam hari. Semua bisa ditempuh sesegera mungkin. ‘’Kalau saja aku mau lebih peduli, barangkali anak itu masih hidup ...’’, sesalnya. ‘’Aku terlalu menggampangkan. Aku cuma merasa cukup dengan memberi banyak informasi dan percaya Gusti Allah sendiri yang akan melanjutkan. Duh, Gusti, nyuwun pangapunten ...’’

Aku tersenyum mendengar penyesalannya. Tentu bukan karena aku senang bahwa Wira menyesal. Tidak begitu. Kok seperti orang suci saja. Senyumku senyum getir sebetulnya. Hanya aku merasa akhirnya sampai juga pada pemahaman bahwa Gusti Allah bisa melakukan apa saja termasuk bertindak sendiri menyembuhkan si Anak. Tapi tak urung Dia juga selalu membutuhkan bantuan manusia. Ah, konsep macam apa lagi ini; menganggap Tuhan tidak kuasa tanpa peran manusia? Memang Actus-puruslah Dia. The unmoved-moverkata Aristoteles; penggerak yang tak bergerak. Yang adi-kodrati dan kekal. Sangcausa-prima. Tapi kalau sang pimpinan yang serba bisa membutuhkan bantuan bawahan, maka pertanyaannya : apa dan siapakah sang bawahan itu sehingga sang pemimpin membutuhkan bantuannya? Begitu spesialkah dia? Entahlah.

Pak Artam memanggil dari kejauhan. Dari bahasa tubuhnya kutahu ada yang harus cepat diputuskan di lapangan. Maka aku segera membayar makanan, kemudian berlari dalam hiruk-pikuk jalan Padma. Kepada Wira hanya kukirimkan sebuah pesan singkat : thank you, Brother.

1 comment:

mkbmssps.blogspot.com said...

rasanya tak berlebihan aku mengatakan kalo barusan aku bertualang. tak sadar bahwa ini hanya cerita atau barangkali memang adalah pengalaman dari sso (penulis. ternyata aku masuk dalam setiap rasa dan situasinya. sip