Friday, September 18, 2009

Mata Satya

Satya temanku. Dia teman sejak aku kecil, saat kami hidup sebagai anak kampung Prawirodirjan nun 25 tahun yang lalu. Dulu perawakannya kecil. Kami sering main perang-perangan bersama di kuburan Belanda, berenang di bendungan kali Code di wilayah Mergangsan atau kali Gajah Wong di Muja-muju. Kami juga sering mengunjungi museum pesawat di Maguwo sembari mimpi menjadi penerbang, atau mencuri-curi waktu naik kereta barang dari stasiun Lempuyangan ke stasiun Tugu.

Sampai studi di bangku universitas kami masih tetap awet berteman baik, bahkan sampai sekarang, meskipun tidak secara rutin bertemu dan bersapa. Tentu tidak lain karena kesibukan masing-masing. Aku sibuk dengan peranku sebagai arsitek dan dia sibuk sebagai seorang penulis lepas. Tetapi, dibanding aku yang arsitek, kuakui kemampuannya membuat sketsa tangan jauh lebih baik dariku.

Sudah lama kami tidak bertemu. Dan kemarin malam di dalam kamarku yang sepi menjelang Idul Fitri – tidak kusangka – aku dikejutkan dengan sms darinya. Ingin bertemu denganku katanya, mencuri waktu di sela kedatangannya di Jakarta yang hanya beberapa hari saja. Maka jadilah kami bertemu di sebuah gerai kopi di Jakarta Pusat.

Aku tertawa dan terpana waktu melihat dirinya masuk ke gerai kopi. Satya makin subur dan gemuk. Berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Tapi satu yang rasanya tetap, selalu setia dengan blue-jeans dan kaos polos lengan pendek. Sangat khas dirinya.

Dia masih setia juga dengan sketch-book. Bedanya dengan dulu dimana yang dibawa adalah sketch-book tebal dan besar, kali ini tampak lebih praktis, yaitu setengah folio. Cara menempatkan pena juga berubah : digenggam dalam tangan saja. Tidak lagi digantung di leher kaos yang sering meninggalkan noda tinta di dada.

Ditemani hot chocolate dan black coffee kesukannya kami berbincang, tetapi tidak selalu dipenuhi dengan pembicaraan yang panjang lebar serba kangen-kangenan. Kadang kami saling memandang saja sembari tersenyum. Ya, itu bahasa yang kami miliki sebagai sahabat. Dia memahamiku dengan segala tingkah-polahku. Begitupun aku memahami sifat pendiamnya di balik keriaanya. Banyak yang tidak tahu bahwa sebetulnya dia pendiam. Sangat pendiam. Hanyalah karena kebaikan hatinya yang selalu ingin membuat orang lain merasa nyaman maka dirinya bersikap luwes, dan kadang penuh banyolan yang membuat orang tertawa. Tapi sering dalam situasi tertentu aku melihatnya dalam ujud aslinya. Diam, merenung-hening. Sifat yang mungkin hanya diketahui oleh sedikit orang saja, dan kutebak : kekasihnyapun tidak tahu.

Sebagai sahabat kami merasa senang dengan sekedar ditemani. Misalnya malam itu sembari membuat sketsa dia berbicara sekelumit kalimat namun mengandung makna yang dalam. Kadang wajahnya tidak menatapku sama sekali melainkan sketch-book yang digores-goresnya dengan tinta seakan-akan lembaran kertas itu adalah diriku.

“Belum berniat menikah juga?”,tanyaku
“Belum. Kamu sendiri? Entahlah. Sering aku mencari-cari apa yang salah dalam diriku. Tapi semakin dicari tidak juga ketemu. Yang ada aku malah dihadapkan pada banyak peristiwa yang membuatku bingung untuk memilih. Tapi mungkin itu juga bias dari sifatku ya … kamu kan tahu aku peragu. Tapi ….”
“Tapi apa?”
“Hmm … kadang aku tidak terlalu merasa bersalah dengan keraguanku. Sering itu seperti sebuah insting yang sangat kuat dan akhirnya tetap berbuah pada kepastian yang baik yang justru akan menjadi tidak baik kalau aku tidak mengikuti keraguanku”.

Aku tertawa. Kubiarkan saja dirinya dengan pola pikirnya yang aneh untuk ukuran dunia modern. Tapi kuakui, Satya yang peragu dan hati-hati, Satya yang sederhana dan memiliki sifat generous sudah berulangkali melakukan kebaikan untuk orang lain dibanding dengan diriku. Tidak hanya kebaikan, bahkan dengan mataku sendiri kulihat Satya dengan mata hatinya menegakkan harkat hidup beberapa orang, yang bahkan jarang bisa dilakukan oleh para pemimpin modern saat ini. Beberapa orang besar yang kukenal melihat kemampuan Satya ini dan mereka ingin merengkuh dia. Tapi Satya tetap sosok yang kukenal. Dia lebih ingin tenggelam dan tidak tampak.

“Aku bertemu dengan mataku”, katanya lagi. Wajahnya semakin lekat menatap sketch-book dan jemarinya semakin menekan pena yang berbuah pada goresan-goresan tegas.
“Mata? Mata apa? Aku ngga paham?”
“Ingat 15 tahun yang lalu?” tanyanya mengingatkanku.
Ah, akhirnya kuingat. Pikiranku mundur ke masa lalu. Mungkin hanya beberapa detik tetapi sepertinya lama sekali.

Yang disebut mata itu adalah kekasihnya. Seorang perempuan Cina. Perempuan cantik yang sangat dicintai Satya, menurutnya, seumur hidupnya. Perempuan yang sangat fasih berbahasa inggris dan penuh ambisi untuk maju di tengah kemampuan finansial keluarganya yang tidak mendukung. Aku sangat tahu kisah percintaan mereka yang penuh perjuangan dan tantangan. Di mataku kehidupan mereka berdua lebih dari soal percintaan. Sebagai arsitek aku selalu mengibaratkan hubungan mereka sebagai proyek membangun menara. Ada sebuah kerjasama yang baik, tapi ada kalanya menara belum juga selesai tetapi mereka sudah berada di ketinggian. Di situlah mereka bisa memandang alam sekitar yang cantik yang tidak bisa dilihat ketika berada di bawah.

Hati manusia yang tertawan oleh keindahan yang lebih luas mengundang hasrat untuk terbang. Lepas bebas agar bisa terbang lebih jauh dan memandang alam di kejauhan lebih dekat. Dan itulah yang terjadi, setidaknya apa yang kutangkap dari pernyataan Satya menanggapi perpisahan dengan kekasihnya.

Mendengar berita itu aku tidak banyak komentar. Aku hanya menerima saja apa yang Satya ungkapkan kepadaku : bahwa dia, meskipun pedih, menerima dengan tulus kepergian kekasihnya – perempuan yang selalu diibaratkan mata baginya - demi kasihnya kepada perempuan itu. “Asal dia bahagia. Aku bahagia kalau dia bahagia”, katanya lirih.

Kumandang azan dari mesjid agung Kotagede mengiringi kalimatnya. Di kejauhan aku melihat orang-orang datang untuk sembahyang. Langit mulai gelap. Dan Satya, kulihat dia duduk bersila. Diam dan hening larut bersama suara azan. Dalam imajinasiku aku melihat seorang Samurai tegak diam menantang musuh yang akan merebut kekasihnya. Dia berdiri menghadang lawan, berkata kepada kekasihnya : lari! Mata hatiku melihat Satya menghadang lawan, tapi aku tidak melihat siapa lawannya. Orang lainkah … atau dirinya sendiri?

***

Harum aroma kopi menyadarkanku. Satya masih duduk di hadapanku tetapi matanya menoleh ke belakang. Melihat orang-orang bersorak, menonton pertandingan sepak bola melalui siaran televisi.

“Lantas, kamu melihatnya lagi? Dimana? Apa kabar dia?”. Aku mengawali pembicaraan setelah Satya berbalik lagi menghadapku.
“Umm … kemarin kami bertemu. Aku masih ngga habis pikir bagaimana dia bisa menemukan alamatku. Kau’kan tahu, setelah dia menikah aku memutuskan menyudahi kontak. Samasekali.”

“Dia dalam kondisi baik,” katanya lagi. “Hebat. Dia betul-betul mataku. Dia sudah berkeliling dan melihat kota-kota dunia. Suatu hal yang selalu kuimpikan tapi belum terlaksana. Tetapi tidak seperti orang lain yang sekedar mengatakan “aku pernah di sini”, dia bisa bercerita tentang kehidupan setiap kota dan negara yang disinggahinya lengkap dengan nilai-nilainya. Begitu hidup, sehingga mendengar ceritanya aku seperti menguyah makanan yang aku suka dan menikmatinya”.

Kubiarkan Satya bercerita seperti anak kecil yang gembira karena menemukan dunia baru. Biar saja. Kulihat dia sedang jatuh cinta. Kupahami itu dari penjelasannya tentang arti ‘mata’ yang baginya lebih dari sekedar pernah melihat kota-kota dunia. Baginya, perempuan mantan kekasihnya itu, masih seperti dulu mampu menumbuhkan semangat hidup Satya.

“Lantas, kenapa dia kembali mencarimu? Kamu bilang dia terkesan membenci dan menjauhimu waktu kalian putus dulu.”

Diam. Tidak ada jawaban. Dia seperti disadarkan oleh sesuatu. Kemudian dia berkata lagi. Lirih :”suaminya pasti hebat. Tentu dia seorang yang bisa memberikan dunia. Tidak seperti aku”.

“Ya, tidak seperti kamu. Orang gila yang sukanya main petak-umpet. Serba tidak mau kelihatan dan suka menghilang. Nah, kulihat dari nomor sms yang kamu kirim tadi … nomormu ganti lagi ya? Dasar sok misterius … incognito”.

Kami tertawa. Bebarengan dengan sorak-sorai goal penonton sepak bola.

No comments: